Dalam kehidupan kini, kekayaan telah menjadi indikator penilaian kesuksesan seseorang, sekalipun tidak salah, tetapi telah menorehkan banyak luka kepada keshalehan. Jauh-jauh hari sebelum ini, Rasulullah Muhammad SAW. telah memberikan sinyal, bahwa nanti umat manusia akan dirasuki penyakit “wahn”. Secara bebas wahn dapat diartikan, di akhir zaman manusia akan dirasuki “kehendak” cinta duniawi dan menakuti kematiannya. Dengan demikian, cinta kepada keduniaan dan tidak siap menemui kematian dalam berbagai aspek dapat menyulut rendahnya keshalehan.
Jika ditelaah memakai pendekatan “pola pikir” manusia, kapitalisme telah menjadi denyut nadi kehidupan. Apabila begini, tidak dapat disalahkan jika kesuksesan diukur dengan kapital (kekayaan). Alih-alih, gerakan manusia menuju kepusaran “bagaimana bisa kaya”. Sayangnya, dalam pengejaran kapital, nilai-nilai kebaikan menjadi nilai kedua (second values), sehingga ajaran agama yang merupakan gudang nilai-nilai telah menjadi tumpul menusuk kehendak manusia. Akhirnya, kehendak, dipenuhi dengan ambisi mencapai kesuksesan membabi buta, seiring dengan itu kebaikan menjadi semakin buram.
AGAMA TIDAK BERDAYA?
Seluruh manusia, sekalipun atheis, mengakui bahwa ada nilai-nilai kebaikan universal di muka bumi ini. Dalam pandangan agamawan atau orang yang menganut suatu agama mempercayai bahwa dalam agama terkandung nilai-nilai kebaikan. Artinya, dalam kehidupan ini, ada kebaikan yang disepakati sebagai universalisme keshalehan, sekalipun dalam pencapaiannya, perjalanannya berbeda-beda sesuai dengan kaedah yang dibentuk oleh agama. Lantas bagaimana dengan atheis? mereka juga mempunyai kaedah bagaimana nilai-nilai kebaikan dapat dicapai.
Argumen di atas mencoba membawa kita kepada pertanyaan; jika kekayaan telah menjadi target kehidupan, apakah agama sebagai sumber kebaikan, telah menjadi target kedua? Selanjutnya, apakah dalam agama, melalui nilai-nilainya, tidak bisa menjadi kehendak kehidupan manusia dalam mencapai kekayaan? Jika ada, kenapa manusia lebih suka mencapai kekayaan dengan mengesampingkan ajaran agamanya? Apakah pemeluk agama kurang memahami ajarannya? Atau agama telah menyusahkan kreasi pencapaian kekayaan pemeluknya? Atau yang paling mengerikan, apakah agama telah menemui ketidakberdayaannya?
Ketidakberdayaan agama dalam konteks kekayaan dapat menyuburkan keserakahan. Apabila dianalisis memakai prolog di atas, keserakahan berarti output nilai yang terbentuk dari pencapaian manusia dengan memakai pola pikir wahn dan mengesampingkan nilai-nilai ajaran agama. Jika duniawi telah menjadi kehendak, dan kematian menjadi ditakuti, maka manusia akan berusaha mengakumulasi duniawi, dan melalui duniawi itu, manusia berusaha sekuat tenaga “mengelak” dari kematiannya. Oleh karena itu tidak salah jika kemudian muncul keresahan, kejahatan, penindasan dan nilai-nilai kejelekan universal yang lainnya.
Hujah di atas sepatutnya dijadikan landasan kenapa keserakahan harus terbentuk? Kenapa pula manusia menuju kepada nilai-nilai kejelekan universal? Bukankah kejelekan harus diminimumkan dan kebaikan harus ditegakkan? Lantas strateginya seperti apa, ketika manusia sadar harus membentuk keshalehan? Adakah “technical guide” agama yang strategis yang dapat dipakai manusia agar kekayaannya bisa mendorong kepada kesiapan kematian? Jika ada, niscaya agama dapat berdaya dalam menyelesaikan keserakahan tanpa harus meninggalkan kekayaan.
BERMAIN-MAIN DI ARAS PIKIRAN ADALAH SOLUSI?
Diagnosis sederhana yang dapat menyelami penyakit wahn adalah pertentangan yang terbentuk antara pikiran manusia yang telah dipenuhi oleh jargon bahwa (pertama) kesuksesan diukur dari kekayaan dengan (kedua) keshalehan yang harus dicapai sebagai solusi kesiapan menghadapi kematian. Sejatinya, pikiran pertama telah berkembang dan selaras karena dikembangkan oleh cambuk metode berfikir keumuman, sementara pikiran kedua telah berkembang dan selaras karena dikembangkan oleh cambuk manhajul fikr agama. Jika begitu, sebenarnya mudah sekali menyerukan keshalehan kepada manusia! Langkahnya adalah perkuat pikiran manusia dengan cara berpikir agama.
Jika sudah demikian, perang pikiran pasti akan membawa kita kepada “binatang metodologi”. Jika kenyataannya pikiran pertama yang dominan, berarti metodologi yang disediakan agama masih belum mampu mengalahkan metodologi keumuman. Artinya, manhaj yang disediakan oleh agama masih perlu dilakukan pengayaan, sehingga secara perlahan tetapi pasti, strategi penguatan manhajul fikr agama dapat menggantikan pikiran secara umum. Oleh karena itu, obat wahn adalah strategi jitu manhajul fikr agama dalam menggantikan ranah berpikir manusia yang dibentuk oleh metodologi keumuman.
KEYAKINAN, HUKUM DAN KEBAIKAN HARUS HOLISTIK?
Gambaran umum manhajul fikr agama masih terpisah-pisah akibat dari proses penyampaian kepentingan agama kepada manusia. Keberpihakan strategi pengajaran yang terlalu berat kepada salah satu ajaran keyakinan, ajaran hukum dan ajaran kebaikan, nampaknya memicu kepada pembentukan pikiran agama manusia tidak holistik. Sejatinya, agama memerlukan keyakinan, mempunyai hukum (aturan main) dan harus menampakkan wajah kebaikan. Jika berat kepada salah satu, atau tidak holistik, maka strategi jitu manhajul fikr agama akan menemukan ketumpulan dalam merasuki pikiran manusia.
Dalam kasus yang lebih mikro, pegiat ajaran agama (karena keterbatasannya) melakukan pembelaan tingkahnya (pembenaran) bahwa apa yang disampaikannya holistik. Dengan begitu, pikiran manusia menjadi “tidak lebar” memahami agama. Akibatnya nilai-nilai agama dipahami menurut pikiran sempit. Jika demikian akan muncul kemungkinan pikiran agama kerdil. Akhirnya, dengan kekerdilan pemahaman, dalam pikiran menjadi kalah oleh hegemoni kekayaan strategi keumuman yang lepas dari nilai-nilai agama.
KAYA TAPI SHALEH BISAKAH?
Mari kita diskusikan….
8