Empowering Pesantren-Based Nahdliyin MSMEs Through Digital Innovation and Knowledge Collaboration in the SDGs Era

🧠 Pengantar

Di tengah era digital dan arus globalisasi yang semakin cepat, dunia menghadapi tantangan besar dalam menciptakan model pembangunan yang inklusif, berkelanjutan, dan berbasis nilai. Indonesia, dengan kekuatan sosial-budaya dan spiritualnya, memiliki potensi besar dalam memberikan kontribusi khas terhadap agenda global tersebut — salah satunya melalui pemberdayaan ekonomi berbasis pesantren.

Dalam konteks inilah, tema yang diangkat oleh Dr. H. Rohmat Sarman, SE., MSi. dalam forum International Conference on Islam Nusantara (ICNARA) 2025 menjadi sangat relevan:

Empowering Pesantren-Based Nahdliyin MSMEs Through Digital Innovation and Knowledge Collaboration in the SDGs Era

Konferensi internasional ini diselenggarakan oleh Universitas Islam Negeri Kiai Haji Achmad Siddiq (UIN KHAS) Jember, salah satu perguruan tinggi Islam terkemuka di Indonesia yang konsisten mengembangkan gagasan keislaman Nusantara berbasis riset dan inovasi.

Miskin Jadi Komoditas Politik: Analisis Perilaku Pembangunan dan Solusinya Lewat Manajemen Kewirausahaan Komunitas

Miskin Bukan Sekadar Status Sosial, Tapi Alat Politik

Kemiskinan di Indonesia sering kali tidak ditangani sebagai masalah struktural yang harus diselesaikan secara serius, melainkan dijadikan sebagai alat legitimasi kekuasaan. Dalam setiap musim politik, masyarakat miskin sering muncul sebagai latar panggung dalam narasi kampanye—dijanjikan bantuan, dijadikan objek pembangunan, namun tetap tidak diberdayakan secara substansial.

Ironisnya, pembangunan justru sering menyisihkan mereka, bahkan merusak ruang hidup yang mereka miliki. Ketika kemiskinan menjadi komoditas, maka pendekatan yang dibangun cenderung bersifat jangka pendek, karitatif, dan penuh kepentingan politis, bukan transformatif. Dalam konteks inilah, Manajemen Kewirausahaan Komunitas (MKK) hadir sebagai pendekatan alternatif yang lebih berakar, berkelanjutan, dan berpihak pada masyarakat.

Demo dan Kecongkakan Pemegang Kekuasaan: Perspektif Manajemen Kewirausahaan Komunitas (MKK)

Rohmat Sarman – Kecongkakan yang berkembang di kalangan pemegang kekuasaan di Indonesia belakangan ini menjadi ancaman serius bagi kemajuan negara. Ketidakadilan sosial, penindasan terhadap suara rakyat, dan pengabaian terhadap hak-hak dasar manusia semakin menjadi fenomena yang sering ditemui. Salah satu respon yang paling umum dan terlihat adalah demo—gerakan massa yang mengkritisi kebijakan yang dianggap tidak berpihak pada masyarakat.

Namun, dalam melihat fenomena ini, kita tidak hanya perlu menilai dengan perspektif politik semata. Manajemen Kewirausahaan Komunitas (MKK) dapat menjadi alat penting untuk memahami bagaimana masyarakat bisa mengorganisasi diri dalam menghadapi kecongkakan penguasa. Gerakan massa, yang kerap terjadi sebagai akibat ketidakpuasan terhadap penguasa, tidak hanya harus dipandang sebagai bentuk perlawanan. Lebih dari itu, melalui kewirausahaan komunitas, masyarakat dapat menciptakan solusi yang berkelanjutan dan memberdayakan, mengurangi ketergantungan terhadap penguasa yang sering kali arogan.


Kecongkakan Pemegang Kekuasaan: Implikasi Sosial dan Ekonomi

Kecongkakan kekuasaan di Indonesia sering kali tampak dalam bentuk kebijakan yang tidak merata, pembangunan yang lebih mengutamakan kepentingan segelintir orang, serta peraturan yang lebih memihak pada kelompok elit dan pengusaha besar. Hal ini menciptakan jurang ketimpangan yang semakin melebar antara penguasa dan rakyat kecil. Kebijakan yang salah arah ini menyebabkan meningkatnya kemiskinan, pengangguran, dan ketidakadilan sosial.

Dampak yang paling langsung dari kebijakan ini adalah tumbuhnya ketidakpuasan di kalangan rakyat. Demonstrasi besar-besaran sering kali terjadi sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap merugikan rakyat kecil dan tidak berpihak pada keadilan sosial. Namun, aksi demo semata-mata tidak cukup untuk membawa perubahan yang signifikan dalam jangka panjang, jika tidak disertai dengan strategi pemberdayaan yang lebih berkelanjutan.

Menjadi Pembimbing Tugas Akhir: Bukan Sekadar Akademik, Tapi Tentang Kemanusiaan

Ada satu momen yang selalu membuat saya merenung dalam sunyi, meski telah bertahun-tahun menjadi dosen: ketika seorang mahasiswa mengirimkan pesan, “Pak, terima kasih sudah membimbing saya sampai lulus.”

Bagi sebagian orang, itu mungkin hanya basa-basi. Tapi bagi saya, itu adalah pengingat: membimbing tugas akhir bukanlah pekerjaan administratif atau rutinitas akademik belaka. Ia adalah perjumpaan antara dua manusia—yang satu sedang mencari makna ilmunya, dan yang lain sedang mencoba mengantarkan, dengan sabar, agar si pencari tidak tersesat.


Antara Bimbingan dan Harapan

Saya masih ingat wajah gugup mahasiswa saya di pertemuan bimbingan pertama. Mereka datang dengan proposal seadanya, kadang dengan logika yang belum utuh, kadang hanya bermodal semangat. Tapi di balik semua itu, saya melihat satu hal: harapan.

Harapan agar mereka bisa menuntaskan satu tahap penting dalam hidup. Harapan agar orang tua mereka bisa tersenyum bangga. Harapan agar gelar itu membuka pintu masa depan.

Sebagai pembimbing, saya merasa bukan hanya bertugas memeriksa struktur metodologi atau memotong kalimat yang terlalu panjang. Saya ada di sana untuk menjaga nyala harapan itu tetap hidup.

Ketika Hati Terlalu Melekat: Refleksi Tentang Melepaskan untuk Tenang

 Oleh: Rohmat Sarman

“Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwanya.”
(QS. Asy-Syams: 9)


Pendahuluan: Mengapa Hati Mudah Melekat?

Manusia diciptakan dengan hati yang bisa mencintai, menginginkan, dan menggenggam. Tapi hati yang tidak diarahkan dengan benar, bisa melekat pada hal-hal yang salah: kekuasaan, harta, pasangan, status, bahkan pujian. Dan saat hati terlalu melekat pada dunia, maka hadir kegelisahan yang pelan tapi pasti merusak ketenangan.

Kita hidup di era yang mengajarkan untuk mengejar lebih banyak. Namun jarang diajarkan tentang bagaimana melepaskan.


Apa Itu Kemelekatan Hati?

Kemelekatan hati adalah kondisi batin saat kita tidak lagi hanya menggunakan dunia sebagai sarana, tetapi menjadikannya sebagai tujuan dan sumber identitas. Kita merasa “berharga” jika memiliki sesuatu, dan merasa “hilang arah” jika kehilangan itu.

Contohnya:

  • Takut kehilangan pekerjaan, karena merasa hanya itu sumber harga diri.

  • Terlalu mencintai seseorang hingga lupa bahwa dia juga milik Allah.

  • Mengejar validasi dari media sosial untuk merasa cukup.

Inilah kemelekatan: ketika sesuatu selain Allah menjadi pusat orbit hati kita.

🌿 Hidup yang Ditinggalkan sebagai Inspirasi

Saya pernah bertanya pada diri sendiri, “Apa yang ingin saya tinggalkan setelah saya tiada?”

Di dunia yang terus bergerak, di tengah rutinitas yang tiada habisnya, kita sering lupa bahwa hidup ini bukanlah untuk kita sendiri. Kita adalah penghubung antara generasi, sebuah titik yang diamanahkan untuk memberi manfaat sebanyak-banyaknya.

🌿 Doa di Meja Kerja

Ada satu kebiasaan kecil yang selalu saya lakukan setiap kali duduk di meja kerja: berdoa.Kadang hanya dalam bisikan lirih, kadang dalam hati yang terdiam lama.Di antara tumpukan kertas, buku,…