By In Uncategorized

Doa Nabi Sulaiman dan Spirit Manajemen Kewirausahaan Komunitas

Pendahuluan: Wirausaha, Kepemimpinan, dan Kesadaran Diri

Dalam dunia kewirausahaan komunitas, kita seringkali berfokus pada angka, program, dan hasil ekonomi. Padahal, ada hal yang tak kalah penting namun kerap terpinggirkan: nilai spiritual dan kesadaran diri dalam memimpin dan mengelola sumber daya.

Nilai ini bisa kita temukan secara terang dalam salah satu doa paling indah yang diabadikan dalam Al-Qur’an. Sebuah doa yang datang dari pemimpin besar, raja, sekaligus nabi yang kekuasaannya melampaui batas dunia manusia: Nabi Sulaiman ‘alaihissalam.

Allah berfirman dalam Surah Shad ayat 35:

قَالَ رَبِّ ٱغْفِرْ لِى وَهَبْ لِى مُلْكًۭا لَّا يَنبَغِى لِأَحَدٍۢ مِّنۢ بَعْدِىٓ ۖ إِنَّكَ أَنتَ ٱلْوَهَّابُ

“Dia (Sulaiman) berkata: ‘Ya Tuhanku, ampunilah aku dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang pun sesudahku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Pemberi (karunia).’”
(QS. Shad: 35)

Sekilas, ini adalah permintaan kekuasaan. Namun jika dibaca secara lebih dalam, ini adalah refleksi dari kesadaran spiritual dan tanggung jawab sosial luar biasa dari seorang pemimpin terhadap amanah yang ia emban.

1. Spirit Kepemimpinan yang Dimulai dari Pengakuan Diri

Menarik bahwa doa Nabi Sulaiman tidak langsung meminta kekuasaan, tapi dimulai dengan kalimat:

“Rabbi ighfir li…” – “Ya Tuhanku, ampunilah aku…”

Ini menunjukkan bahwa seorang pemimpin, bahkan sekaliber Sulaiman, memulai kepemimpinannya dengan kerendahan hati dan introspeksi. Ia menyadari bahwa sekuat dan sepintar apapun manusia, tetap saja ada batas dan kelemahan. Maka, dalam konteks kewirausahaan komunitas, pemimpin atau penggerak harus terus belajar menyadari keterbatasannya, mengevaluasi dirinya, dan memohon bimbingan Ilahi.

Kita butuh lebih banyak pemimpin usaha komunitas yang memulai kerja bukan dengan kesombongan jabatan atau program besar, tetapi dengan niat untuk memperbaiki, melayani, dan menguatkan umat.

2. Meminta Kekuasaan untuk Misi Kolektif, Bukan Ambisi Pribadi

Doa selanjutnya adalah:

“…wa hab lii mulkan laa yanbaghii li ahadin mim ba’dii”
(“…dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang pun setelahku.”)

Menurut Tafsir Ibnu Katsir, ini adalah permintaan akan kerajaan yang sangat luar biasa, mencakup kekuasaan atas manusia, jin, hewan, dan angin—yang tidak pernah terjadi sebelumnya maupun sesudahnya. Tapi ini bukan ekspresi ego. Ini adalah permintaan strategis agar kekuasaan itu menjadi alat dakwah dan pemberdayaan masyarakat secara luas.

Begitu pula dalam dunia kewirausahaan komunitas: kita boleh dan perlu bermimpi besar. Tidak masalah membangun usaha yang kuat, koperasi yang besar, atau ekosistem ekonomi desa yang solid. Tapi niat dan orientasinya harus benar: bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk mengangkat harkat orang banyak.

Maka dalam manajemen kewirausahaan komunitas, pertanyaannya bukan hanya “berapa banyak omzet”, tetapi “siapa saja yang diangkat derajatnya oleh usaha ini?”

3. Al-Wahhab: Sumber Rezeki, Ide, dan Kekuatan

Doa Nabi Sulaiman ditutup dengan pengakuan tauhid yang indah:

“Innaka Antal-Wahhab”
(“Sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi karunia.”)

Ini bukan sekadar penutup doa, tapi pengakuan bahwa semua yang kita miliki—ide, jaringan, modal, bahkan semangat—berasal dari Allah. Dalam konteks komunitas, ini menjadi semangat untuk terus berbagi, terus membangun, dan tidak takut kehabisan. Karena sumber rezeki bukan kita, tapi Allah al-Wahhab.

Spirit ini penting ditanamkan dalam setiap struktur kelembagaan usaha komunitas: bahwa kita bukan hanya bekerja untuk mengejar laba, tetapi juga untuk menjadi wakil kasih sayang Allah di bumi. Kita bekerja bukan hanya karena bisa, tapi karena diberi kesempatan untuk berbuat baik.

4. Manajemen Kewirausahaan Komunitas yang Profetik

Jika ditarik dalam konteks manajemen, doa Nabi Sulaiman memberi kerangka berpikir yang sangat relevan:

  • Mulai dari spiritualitas dan evaluasi diri → bukan sekadar rencana kerja, tetapi juga rencana niat.
  • Permintaan kekuatan harus disertai tanggung jawab sosial → bukan sekadar ingin besar, tapi ingin bermanfaat.
  • Selalu sadar bahwa kekuatan bukan berasal dari diri sendiri, tapi dari Allah → ini menciptakan kepemimpinan yang rendah hati, visioner, dan berorientasi jangka panjang.

Dengan kata lain, manajemen kewirausahaan komunitas tidak cukup dengan pendekatan teknokratis semata. Kita butuh fondasi iman, niat yang lurus, dan kesadaran bahwa semua usaha kita adalah bagian dari ibadah. Inilah yang menjadikan model kewirausahaan profetik bukan sekadar idealisme, tapi keniscayaan dalam membangun masyarakat yang adil dan berdaya.

Penutup: Mari Kita Warisi Semangat Sulaiman

Nabi Sulaiman bukan hanya dikenal karena istananya, anginnya, atau jin-jin yang tunduk kepadanya. Ia dikenang karena kerendahan hatinya di hadapan Allah dan keikhlasannya dalam menjadikan kekuasaan sebagai alat untuk menegakkan nilai, bukan sekadar membangun kekuatan.

Sebagai pelaku usaha komunitas, aktivis sosial, akademisi, maupun warga biasa yang peduli, kita bisa mewarisi semangat ini: berdoa seperti Sulaiman, bekerja seperti Sulaiman, dan memimpin seperti Sulaiman.

Dengan begitu, insya Allah, usaha kita tidak hanya berumur pendek karena tren pasar, tapi berumur panjang karena keberkahan dan niat yang benar.

*) Dr. Rohmat Sarman
(Pemerhati Kewirausahaan Berbasis Komunitas dan Nilai-Nilai Ilahiyah)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

WhatsApp Hubungi Kami