Teori yang Tidak Lahir dari Konteks: Antara Rasionalitas, Dominasi, dan Relevansi Nyata

Di dunia akademik, teori sering dianggap sebagai puncak penalaran manusia—hasil dari pemikiran mendalam, penelitian sistematis, dan upaya memahami fenomena yang kompleks. Teori-teori ini dibungkus dengan kerangka konseptual yang rapi, bahasa yang mengilap, dan klaim universalitas yang tampak meyakinkan. Namun, di balik keindahan logikanya, terselip risiko yang sering luput dari perhatian: ketika teori tidak lahir dari konteks tempat ia diterapkan, ia berpotensi menjadi alat dominasi. Ia mungkin membawa tampilan rasional, tetapi pada saat yang sama bisa menjauhkan orang dari realitas yang mereka hadapi sehari-hari.

Fenomena ini dapat dilihat ketika teori-teori yang lahir di satu tempat—misalnya di ruang-ruang universitas besar atau laboratorium penelitian di belahan dunia lain—diimpor mentah-mentah ke wilayah yang sama sekali berbeda. Dalam banyak kasus, masyarakat lokal dipaksa untuk menyesuaikan diri dengan teori itu, meskipun teori tersebut tidak pernah bertanya pada konteks mereka, tidak menyerap nilai-nilai yang hidup di sana, atau tidak memahami kompleksitas sosial-budaya yang melekat. Akibatnya, teori bukan lagi sekadar penjelas realitas, melainkan berubah menjadi kerangka pemaksa yang mendikte bagaimana orang harus berpikir dan bertindak.

Ketika itu terjadi, rasionalitas yang dibawa teori justru menghadirkan jarak. Apa yang tampak logis di atas kertas sering kali terasa kaku di lapangan. Masyarakat diminta menyesuaikan diri dengan konsep yang tidak mereka lahirkan, seolah-olah realitas yang mereka hidupi harus dibentuk ulang agar sesuai dengan teori. Di sinilah teori kehilangan jiwanya. Ia tidak lagi menjadi jembatan antara pengetahuan dan kehidupan, melainkan dinding yang menghalangi pemahaman yang sejati.

Refleksi ini menjadi semakin penting dalam konteks pembangunan komunitas, kewirausahaan, atau pendidikan. Banyak program dan kebijakan yang membawa “teori besar” dari luar, lalu diterapkan begitu saja di desa-desa atau komunitas lokal. Hasilnya sering kali tidak sesuai harapan, bukan karena masyarakat tidak mampu menerima perubahan, tetapi karena teori yang dibawa tidak menyapa kenyataan mereka. Teori itu datang dengan keyakinan bahwa ia “rasional” dan “ilmiah,” tetapi lupa bertanya: apakah ia juga relevan dan bermakna bagi orang-orang yang akan menggunakannya?

Teori yang lahir dari konteks berbeda. Ia tumbuh dari pengalaman, dari dialog, dari interaksi sehari-hari dengan kehidupan nyata. Teori semacam ini tidak memaksakan cara pandang tertentu, melainkan memotret kenyataan apa adanya dan membiarkan pemahaman muncul dari dalam. Teori yang kontekstual tidak menuntut masyarakat menyesuaikan diri dengan konsep, tetapi justru menyesuaikan konsep agar bisa memeluk masyarakat. Ia tidak sekadar menjelaskan dunia, tetapi juga memberi daya bagi mereka yang hidup di dalamnya untuk bergerak, berubah, dan berdaya.

Itulah mengapa, seperti yang dikatakan Sarman (2025), “Teori yang tidak lahir dari konteks bisa menjadi alat dominasi. Ia tampak rasional, tapi justru menjauhkan orang dari realitasnya sendiri.” Kalimat ini bukan sekadar peringatan, melainkan ajakan untuk terus-menerus menguji dari mana teori kita lahir, dan untuk siapa teori itu bekerja. Teori seharusnya menjadi alat pembebasan, bukan penjara konseptual. Teori yang hidup bukan teori yang hanya mengisi buku teks, tetapi yang juga mengisi kehidupan.

Comments

No comments yet. Why don’t you start the discussion?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *