Masalah perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) hingga kini tak kering-keringnya dibicarakan. Selalu menarik dan menyulut magma moralitas ketika realitas telah menjauh dari nilai-nilai. Wacana KKN yang menguat hari ini merupakan krisis moralitas (morality crisis) dan krisis keagamaan (spiritual crisis) bangsa Indonesia. Krisis ini juga bisa mengena pada bangsa lainnya. Sementara yang paling menyengat dibicarakan dalam berbagai forum adalah bagaimana menanggulangi masalah KKN yang dilakukan oleh kelompok elit.
Untuk memahami bagimana penganggulangan KKN yang dilakukan oleh kelompok, penelusurannya dapat dianalogikan oleh gerakan bandul jam. Logikanya; titik pusat gerakan jam diibaratkan prilaku kelompok elit, sementara batang jarum dan bandulnya merupakan prilaku kelompok menengah dan bawah. Namun begitu KKN bukan gerakan kelompok elit saja, tetapi KKN adalah bagian dari prilaku manusia secara umum.
Kondisi keparahan KKN kelompok elit boleh jadi telah menyulut kepada krisis moralitas bangsa ini. Merebaknya KKN di tingkat pusat dan daerah merupakan konsekuensi logis dari “nilai-nilai luhur” yang telah ditinggalkan lama. Nilai-nilai itu sudah tidak dijadikan pijakan, yang kini, keadaannya telah hancur luluh dipicu oleh prilaku elit yang tidak bertanggung jawab.
Perubahan nilai pada kelompok elit tidak serta merta menyebabkan prilaku moral kelompok itu terpisahkan dari prilaku KKN. Sejauh perilaku menjauh dan terpisah dari nilai-nilai, maka penyakit moralitas bangsa akan menjadi semakin parah. Solusi yang dapat diambil adalah merapat-padukan antara nilai-nilai itu dengan moralitas, etika dan ahlak. Namun sayangnya, sampai hari ini, KKN masih tetap kental, ramai di amalkan oleh masyarakat.
Nilai adalah suatu standar prilaku yang muncul dari sebuah komunitas yang bisa berasal dari budaya maupun agama dalam bentuk cultural accumulation values dan spiritual accumulation values. Apabila perilaku KKN masih tetap dilakukan oleh kelompok elit? Hal itu disebabkan oleh karena mereka miskin moral. Kelompok elit yang masih memiliki identitas moral (moral identity), merekalah kelompok yang mempertahankan jati dirinya dengan baik. Jika tidak, maka mereka hampir tergeser pertahanannya oleh budaya miskin moral yang sementara terus menguat di kalangan masyarakat.
Dalam pemaknaannya, identitas moral adalah cara seseorang memandang, membayangkan, dan melakukan pemilihan perbuatan baik dan buruk. Implementasinya, identitas moral pada umumnya ditampakkan lewat cara seseorang berprilaku. Prilaku orang bermoral, sangat khas berciri kebaikan. Mereka tidak malu melakukan kebaikan tidak sebagaimana umumnya masyarakat sekelilingnya. Dan tak seorangpun diantara kita yang memandang rendah. Dengan demikian, apabila tidak begitu maka sebenarnya pada kelompok masyarakat sedang tergerus identitas moralnya.
Diantara kelompok masyarakat yang bermoral, mereka yang secara pribadi telah cerdas memelihara indentitas moralnya. Diantara contoh yang memelihara moralnya adalah mereka yang berkepribadian agamawan yang menegakkan kebenaran atau pribadi yang memegang kebenaran. Kepribadian seperti itu, sekurang-kurangnya tetap memelihara identitas moralnya lewat caranya berbuat kebaikan. Sementara, kelompok masyarakat a-moral, lebih mengedepankan pebuatan seperti keserakahan, penumpukkan harta dan bekerja sama untuk kelanggengan kekuasaan.
Keagamaan, sering juga disebut “garda moral”. Menurut Kirkpatrick dalam Journal of Personality edisi Desember 1999 yang khusus membahas keterkaitan antara keagamaan dan kepribadian mengatakan bahwa agama merupakan satu set kepercayaan tentang kodifikasi kesusilaan dan etika. Oleh karena itu, Dia menyimpulkan bahwa kepribadian yang bermoral dapat didekati dengan kajian agama dan kerohanian. Boleh jadi, kesimpulan itu masih mentah. Tetapi ketika kita coba tanya, oleh apakah moralitas dapat dibangun? Paling tidak, kebanyakan jawabannya adalah kembali pada agama.
Kaitan agama, prilaku dan moral kelompok elit dapat dilihat dari kualitasnya. Kualitas kelompok elit sepatutnya mencerminkan kepribadian khusus yang berbeda dengan kelompok kebanyakan. Jika penjarahan biasanya dikerjakan oleh kelompok kecil tidak bermoral, karena kualitas kelompok elit rendah, kini penjarahan dilakukan oleh mereka. Antagonis memang, moralitas dan kelakuan sama-sama jelek, dimiliki oleh kelompok pribadi berbeda bisa menghasilkan efek yang berbeda. Jarum jam boleh jadi terus berdetak, tetapi efek kinetik kelakuan bisa berbeda-beda.
Moralitas yang tidak dibangun oleh agama, atau nilai-nilai kebenaran yang dipercayai, walhasil prilaku yang bersandarkan nilai akan rapuh. Tidak menilik kelompok kepribadian mana, jika pribadi jauh dari agama atau nilai-nilai kebenaran, moralnya akan luluh. Hanya, kelompok pribadi itulah yang membedakan feedback rapuhnya moralitas. Jika prilaku kelompok elit melakukan KKN, maka pancaran efek kinetik pada dirinya kecil, layaknya detakan jarum jam pada titik pusat. Tetapi, jika prilaku kelompok bawah melakukan KKN, maka pancaran efek kinetiknya besar, seperti bandul jam yang setiap detak jauh sekali bergerak.
Tidak adil memang! Jika diukur “kacamata iri”, tapi memang adanya demikian. Korupsi yang dilakukan kelompok elit tidak diusut secara tuntas, karena alasan tak cukup bukti, gerakannya rapih, bak titik pusat gerak jam. Sementara koruptor-koruptor kecil digeret layaknya bandul jam bergerak dari titik ektrim kiri dan kanak gerakannya. #Wallahualambishawab#
5
Up……
Diantos rilis2 berikutna, terutama terkait pengabdian masyarakat mahasiswa kanggo lingkungan
Siap Om, silahkan di pantau di halaman ini: https://rohmatsarman.com/arah/