Setiap selesai shalat, ada doa sederhana yang selalu saya bisikkan:
“Ya Allah, berikan aku ilmu yang bermanfaat, umur panjang, dan rezeki yang barokah.”
Doa itu begitu ringan di lidah, tapi begitu dalam maknanya. Dari semua yang kita pinta, “ilmu yang bermanfaat” selalu saya letakkan di urutan pertama.
Kenapa? Karena ilmu bukan sekadar kumpulan teori atau tumpukan buku. Ilmu adalah jalan menuju cahaya. Ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang mengalirkan kebaikan, mengubah hidup seseorang, dan tetap hidup meskipun pemiliknya telah tiada.
🌱 Setiap kali saya menulis, saya membayangkan ilmu itu seperti air.
Mengalir, menyejukkan, menghidupi.
📖 Saat saya menulis buku Digital Entrepreneurship atau Teori dari Desa, saya tidak hanya berpikir tentang lembar-lembar kertas yang akan dicetak. Saya membayangkan seorang mahasiswa membacanya, seorang dosen mengutipnya, seorang pemimpin desa menemukan ide darinya.
Dan di situlah saya paham — itulah arti ilmu yang bermanfaat. Ilmu yang tidak berhenti di meja kerja saya, tapi hidup di pikiran dan karya orang lain.
✨ Doa ini juga mengajarkan saya sesuatu:
✅ Bahwa ilmu itu bukan hanya untuk dikoleksi, tapi untuk dibagikan.
✅ Bahwa gelar setinggi apa pun tak ada artinya jika ilmunya tak memberi manfaat.
✅ Bahwa ilmu yang bermanfaat adalah warisan abadi — sedekah jariyah yang tak pernah berhenti mengalir.
Hari ini, saya ingin mengajak siapa pun yang membaca tulisan ini untuk ikut mengulang doa itu setelah shalat:
“Ya Allah, berikan aku ilmu yang bermanfaat…”
Karena di balik doa itu, ada harapan agar apa yang kita pelajari, kita ajarkan, dan kita tulis tidak berhenti di kita saja.
Dan semoga suatu hari nanti, ketika nama kita disebut, bukan hanya gelar atau jabatan yang dikenang, tapi ilmu yang bermanfaat yang kita tinggalkan.