Menjadi Pembimbing Tugas Akhir: Bukan Sekadar Akademik, Tapi Tentang Kemanusiaan

Ada satu momen yang selalu membuat saya merenung dalam sunyi, meski telah bertahun-tahun menjadi dosen: ketika seorang mahasiswa mengirimkan pesan, “Pak, terima kasih sudah membimbing saya sampai lulus.”

Bagi sebagian orang, itu mungkin hanya basa-basi. Tapi bagi saya, itu adalah pengingat: membimbing tugas akhir bukanlah pekerjaan administratif atau rutinitas akademik belaka. Ia adalah perjumpaan antara dua manusia—yang satu sedang mencari makna ilmunya, dan yang lain sedang mencoba mengantarkan, dengan sabar, agar si pencari tidak tersesat.


Antara Bimbingan dan Harapan

Saya masih ingat wajah gugup mahasiswa saya di pertemuan bimbingan pertama. Mereka datang dengan proposal seadanya, kadang dengan logika yang belum utuh, kadang hanya bermodal semangat. Tapi di balik semua itu, saya melihat satu hal: harapan.

Harapan agar mereka bisa menuntaskan satu tahap penting dalam hidup. Harapan agar orang tua mereka bisa tersenyum bangga. Harapan agar gelar itu membuka pintu masa depan.

Sebagai pembimbing, saya merasa bukan hanya bertugas memeriksa struktur metodologi atau memotong kalimat yang terlalu panjang. Saya ada di sana untuk menjaga nyala harapan itu tetap hidup.